Oleh : Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah PPIH, Dosen UIN Jakarta


nusakini.com - Saya bersama seluruh konsultan ibadah haji berangkat ke Gurun Arafah Ahad 8 Dzulhijjah menjelang magrib, ketika angin puting beliung mulai menggulung kota suci Makkah. Dari dalam bus saya melihat angin berembus kencang, menerbangkan setiap sampah dan beberapa barang dagangan kaki lima di trotoar. Dari informasi yang saya terima, kiswah Kabah yang berat pun sore itu sampai terbang diembus topan, membuat Kabah jadi setengah telanjang. Ini tumben. Makkah biasanya kering nyaris tanpa angin. 

Tak lama hujan turun ketika bus yang membawa kami mendekati tanah Arafah. Kaca bus yang tak pernah disiram sore itu lumayan bersih oleh hujan. Di Makkah, hampir semua mobil memang nyaris tak pernah dicuci. Mulai dari Camry, Mercedes, BMW bahkan Jaguar diparkir di pinggir jalan dan dibiarkan dekil mirip kandang ayam. Tak ada air tanah bisa disedot untuk membasuh mobil-mobil mewah itu. Kota suci ini memang terdiri atas batu, batu, dan batu. Ke bawah sedalam 100 meter adalah batu, ke atas gunung-gunung dan bukit-bukit juga terdiri atas batu. Untung gadis-gadis Arab dan onta tidak terbuat dari batu!

Saat bus memasuki tanah suci Arafah, saya lihat semua pohon di sana ruku, sebagian bahkan hampir sujud, ditiup angin sangat kencang. Karena sejumlah tenda terlihat roboh, saya sangat khawatir pohon-pohon itu tumbang. Saya tahu betul riwayat pohon-pohon itu. Saat saya berhaji tahun 2000, pohon-pohon itu baru tumbuh setinggi dengkul, disiram tanpa henti dengan air laut hasil sulingan yang dialirkan lewat selang-selang panjang. Kini, 18 tahun kemudian, pohon-pohon itu sudah menjulang tiga kali atau empat kali lipat tinggi badan saya. Mereka saya lihat sudah bisa hidup mandiri, bahkan bisa menari-nari ketika badai datang. 

Dari semua pemandangan menegangkan itu, hal paling mengagumkan adalah ketika saya lihat dengan mata telanjang halilintar panjang menyala terang-benderang dari balik gunung. Saya terlalu sering melihat halilintar di Indonesia. Tapi halilintar satu ini sungguh berbeda. Ia menggambarkan garis lurus yang berdiri tegak dari gunung batu di depan saya menuju langit, menyala terang benderang hampir satu menit tanpa terputus. Karena itu saya bisa dengan jelas melihat halilintar itu berdiri tegak di atas gunung itu, seolah menghubungkan gunung itu dengan langit. Jika Anda sulit menangkap deskripsi ini, bayangkan saja jalur cahaya yang dilewati Thor setiapkali ia kembali dari Bumi menuju Asgard. 

Terpana menyaksikan pemandangan itu, saya bertasbih pada Allah SWT sambil bergumam dalam hati: ‘’Bermiliar-miliar malaikat sedang turun dari langit ...’’ Lalu saya menoleh ke luar jendala bus kanan dan kiri, siapa tahu Allah izinkan saya melihat ribuan batalion malaikat itu berbaris mengepung Arafah. 

Dalam Al-Quran, Allah memberi kabar bahwa malaikat tercipta deri energi listrik. Dalam bahasa Arab energi listrik ini disebut ‘’nur’’. Itulah sebabnya makhluk ini super ringan dan tak terlihat oleh mata manusia. Demikian ringannya, malaikat mampu terbang super cepat ke langit terdekat dengan jarak tempuh satu hari yang setara 1000 tahun atau 50.000 tahun dalam hitungan manusia. Silakan lihat Al-Quran surat Al-Maarij (70) ayat 4. Karena tercipta dari energi listrik pula, malaikat bisa bertransformasi diri memuai seolah menutupi semua langit yang bisa dilihat mata telanjang seperti yang disaksikan Rasulullah Muhammad SAW saat ia bertemu Jibril di Gua Hira, atau bisa memadatkan diri menyerupai manusia seperti dua sosok manusia yang bertamu ke rumah Nabi Ibrahim AS sebelum keduanya meluluhlantakkan Sodom Gomorah seperti dikisahkan dalam QS Huud (11) ayat 69 – 73 dan surat Adz-Dzaariyat (51) ayat 24 – 37. 

Saat makhluk-makhluk energi listrik yang super cerdas itu bertransformasi diri lalu turun ke bumi, apalagi jika jumlahnya bermiliar-miliar, tentu saja aktivitas mereka menimbulkan dampak pada alam sekitar. Mata manusia tak mampu melihat fisik mereka, tapi dampak alamnya jelas terasa, misalnya halilintar yang memang tercipta dari aliran listrik, badai kencang, hujan lebat, atau sejenisnya. Inilah yang Allah lukiskan dalam Al-Quran ketika Ia menurunkan balatentara tak terlihat untuk menolong Rasulullah SAW dan pasukannya dalam perang Ahzab di tahun 627 Masehi atau tahun 5 Hijriah. Saat itu Nabi dengan 3000 tentaranya dikepung di Yatsrib oleh 10.000 tentara gabungan Quraisy dan Ghatafan. Dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 9, kedatangan balatentara malaikat itu Allah lukiskan sebagai angin topan yang memorakporandakan tenda-tenda musuh berikut perlengkapan masak mereka. 

Di malam menjelang wukuf itu, kami para konsultan diturunkan satu per satu dari bus ke tengah jamaah mirip perwira-perwira intelijen diterjunkan dari pesawat satu per satu ke tengah pasukan di medan tempur. Informasi tentang maktab yang harus kami datangi pun baru kami ketahui di bus yang mengangkut kami. Di tengah badai yang masih berlangsung, bus berhenti di gerbang maktab, lalu satu konsultan ibadah meloncat turun lengkap bersama ranselnya, untuk kemudian bus berjalan lagi. Sampai di maktab tertentu, bus kembali berhenti, lalu satu konsultan meloncat turun, demikian seterusnya.Saya diturunkan di Maktab 28 dan 29 yang gelap gulita, jamaah sedang panik, hujan masih turun, dan sesekali kilat halilintar masih terlihat. 

Tugas para konsultan adalah memastikan bahwa di setiap tenda yang ada di maktab masing-masing sudah tersedia ustaz atau kyai yang akan berkhutbah menjelang wukuf esok harinya. Jika tak ada khatib, konsultan itulah yang harus berkhutbah di tenda itu. Malam itu saya mendarat di tenda penuh dengan jamaah asal Madura. Ada lima kyai di sana, salah satunya bahkan ketua MUI Madura. Untuk tenda ini saya merasa tenang dan besok pagi harus saya tinggalkan. Usai salat subuh Allah takdirkan saya berceramah subuh di tenda itu lalu saya jelaskan fenomena badai yang terjadi semalam. ‘’Mikail itu adalah malaikat pembagi rejeki dan hujan. Lihat, setiapkali malaikat ini datang membagi-bagi hujan, selalu saja kita lihat petir atau halilintar. Setiap ada petir selalu datang hujan, setiap ada kesusahan selalu datang kemudahan,’’ kata saya dalam ceramah subuh itu. ‘’Karena itu jangan membenci hujan ketika ia datang karena tanpa sadar kita sudah memaki malaikat Mikail.’’

Seorang wartawan di siang hari menjelang wukuf bertanya kepada saya tentang fenomena badai semalam. Saya katakan: ‘’Itu tanda pasukan langit yang terdiri atas bermiliar-miliar malaikat datang mengepung Arafah. Berdoalah yang kuat saat wukuf. Dalam sekejap mereka akan terbang ke langit membawa doa-doa kita ke haribaan Allah, Tuhan yang dari-Nya selalu mengalir kasih dan sayang.’’  

Menjelang wukuf tiba dan itu hanya berlangsung enam jam, saya memberi pesan kepada keluarga saya di Jakarta bahwa telepon seluler di tangan saya sengaja akan saya matikan. Selama enam jam saya ingin bercanda dengan Tuhan ... (pr/eg)